Categories
News

Diskusi “Kesadaran Politik di Zaman Milenial” – Sebuah Perefleksian

Salam Perhimpunan! Berada jauh dari Indonesia bukan berarti bahwa pelajar Indonesia di Jerman tidak peduli dengan isu-isu sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Justru dari Jerman inilah kita sebagai pelajar Indonesia memiliki keuntungan untuk mengamati secara jernih keadaan politik dan sosial yang terjadi di Indonesia karena kita tidak berada secara langsung di dalam lingkaran kekisruhan tersebut. Atas dasar inilah PPI Jerman mengadakan sebuah diskusi bersama politisi Budiman Sudjatmiko dan Tsamara Amany bertemakan „Kesadaran Politik di Zaman Milenial“ yang dipandu langsung oleh Andre Prayoga sebagai Kepala Departemen Sosial Politik PPI Jerman. Tulisan ini berisikan laporan dan refleksi atas isi diskusi yang dilaksanakan pada hari Sabtu 22 Juni 2019 lalu di Technische Universität Berlin (TU Berlin).

Orasi Ketua PPI Jerman dan Ketua PPI Berlin-Brandenburg

Cuaca sore menjelang malam di Berlin ketika itu cukup panas. Meskipun begitu, masyarakat Indonesia di Jerman yang terdiri dari berbagai kalangan, entah pelajar ataupun kalangan lainnya, berbondong-bondong datang memenuhi Hörsaal (aula besar untuk kegiatan belajar mengajar) TU Berlin. Mereka tidak hanya berasal dari Berlin dan sekitarnya, namun banyak juga dari mereka yang datang dari kota lain di Jerman karena antusiasme tinggi mereka akan acara diskusi di hari Sabtu tersebut. Di dalam hati mereka tersimpan rasa penasaran dan harapan untuk membawa pulang sesuatu yang berharga dari diskusi ini.

„Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!“ Ucapan ini terdengar menggelegar dan memecah keheningan Hörsaal. Yitzhak Simatupang, Ketua PPI Jerman, membuka acara dengan meneriakkan kutipan pidato Sukarno tersebut secara lantang dan bersemangat dengan logat khas Bataknya untuk mengingatkan bahwa pergerakan rakyat telah terbukti mampu mengganti rezim pemerintahan. Ia mengajak generasi muda untuk tetap bergerak. Sebagai aset berharga, generasi muda harus menjadi pendorong awal agar terjadi sinergi antara akademisi/teknokrat ahli, pengambil kebijakan, dan penggerak ekonomi.

“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia!” Lagi-lagi kutipan pidato Sukarno kembali berkumandang. Kali ini Kreshna Wiryatama, Ketua PPI Berlin-Brandenburg, menyampaikan orasi singkatnya. Orasi Khresna memanglah tidak menggelegar sebagaimana orasi Yitzhak, namun penyampaiannya yang tenang mampu secara perlahan menghanyutkan hati audiens yang hadir di sana. Menurutnya, generasi muda tidak boleh apatis, namun harus menjadi inspirasi bagi NKRI dengan memberikan aspirasi dan tuntunan karena generasi muda merupakan generasi harapan bangsa.

Latar Belakang Para Politisi

Andre Prayoga, sang moderator eksentrik yang juga pemain drum metal mengawali acara dengan gaya santainya yang unik. „Saya minum dulu, ini pengalaman pertama saya jadi moderator“, ujarnya terkekeh. Tawa khas Andre pun disambut oleh gelak tawa seluruh audiens yang hadir. Hal ini merupakan tanda bahwa diskusi ini akan menjadi diskusi politik yang santai dan tidak kaku, meski tema yang dibahas merupakan sebuah tema yang serius. Mungkin spirit „serius tapi santai“ inilah yang dibutuhkan masyarakat Indonesia ketika berdiskusi soal politik.


Tsamara Amany, seorang politisi wanita muda yang seringkali terlihat tersenyum ramah, mengatakan bahwa kegiatan magangnya di Balai Kota DKI Jakarta dan momen pilkada Jakarta menjadi dua dari sekian motivasinya untuk terjun dalam dunia politik. Ketika itu ia merasakan dua hal, yaitu keoptimisan dan kepesimisan dalam melihat perpolitikan Indonesia. Ia melihat kepesimisan ketika slip of tongue seorang gubernur dapat menjadi sebuah permasalahan besar yang menunjukkan bahwa ancaman konservatisme sedang merebak di Indonesia. Di sisi lain, keoptimisannya muncul ketika melihat bahwa sebuah inovasi di politik dan birokrasi dapat merubah kehidupan banyak orang menjadi lebih baik. Tidak lupa, Tsamara menyatakan bahwa ia yang banyak terinspirasi dari buku Sukarno. Baginya, Sukarno mampu menulis selayaknya ia sedang berpidato.

Budiman Sudjatmiko, seorang politisi yang memiliki latar belakang aktivisme, melalui gaya retorikanya yang sangat meyakinkan memaparkan bagaimana pengalamannya sebagai seorang aktivis yang pernah berada di luar sistem hingga masuk menjadi seorang politisi di dalam sistem. Ia memaparkan bahwa idealisme ketika ia berada di luar sistem tetap ia pertahankan saat berada di dalam sistem. Meskipun begitu, menurutnya sekedar tidak korup ketika berada di dalam sistem merupakan sebuah hal yang terlalu minimalis untuk diperjuangkan. Ia harus mampu membuat sebuah perubahan. Berada di dalam sistem bukan hanya sekedar „tidak kemasukan bola“, namun harus mampu „menggolkan bola“. Oleh sebab itu, ketika berkampanye ia menawarkan sebuah konsep, yaitu undang-undang desa. Melalui kampanye yang berfokus pada program, ia ingin dipilih berdasarkan kepercayaan, bukan berdasarkan transaksi semata. Selain itu, Budiman menyatakan bahwa figur seorang politisi di mata publik sangatlah berpengaruh terhadap bagaimana orang akan berperilaku terhadap dirinya. Ketika sang politisi terlihat memiliki integritas, tak ada orang yang berani memintanya bermain proyek meskipun orang yang sama berani mengajak politisi lain untuk memainkan proyek.

Hak Asasi Manusia

Setelah mengorek latar belakang kedua politisi, kali ini Andre menelisik lebih jauh kapabilitas mereka dalam pemahaman soal HAM, sebuah tema yang selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan anak muda Indonesia. Tsamara menyatakan bahwa kesulitan dihadapi dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM karena para politisi bertindak berbeda dalam menanggapi setiap kasus, entah kasus penggusuran, kasus 1998, kasus 1965, maupun kasus-kasus lainnya. Terlalu banyak stakeholder (pihak yang terkait dalam isu) dalam setiap kasus sehingga penyelesaiannya tidak mungkin dilakukan seorang diri. Oleh karena itu pergerakan semua elemen masyarakat sangatlah krusial.

Budiman sedikit mengoreksi terminologi yang dipakai. Menurutnya, hal ini mengenai kejahatan kemanusiaan. Berdasarkan analisanya, kasus kejahatan kemanusiaan mampu diselesaikan bila korban kejahatan kemanusiaanlah yang menjadi pemimpin sebuah negara, sebagaimana yang terjadi di Chili di masa Michelle Bachelet, Brasil di masa Dilma Rousseff, dan Afrika Selatan di masa Nelson Mandela. Penyelesaian kasus dapat terjadi karena pemimpin-pemimpin yang pernah menjadi korban tak akan lagi berfokus pada perhitungan untung rugi politik.

Lebih jauh, Budiman memaparkan dua cara penyelesaian kasus pelanggaran kejahatan kemanusiaan, yaitu melalui hukum atau melalui rekonsiliasi. Penyelesaian kasus melalui proses hukum yang lebih mudah dilakukan ialah bila pelakunya negara secara langsung (tentara, intelijen, atau pihak negara lain yang terkait) dan dalam hal ini dibutuhkan sebuah political will dari pemimpin. Contoh kasus yang dapat diselesaikan dalam kategori ini ialah kasus penembakan dan penculikan aktivis 1998. Di sisi lain, hal yang lebih sulit diselesaikan secara hukum ialah ketika negara melakukan kejahatan kemanusiaan melalui tangan masyarakat sipil, sebagaimana yang terjadi pada kasus kejahatan kemanusiaan 1965 dan konflik Ambon. Dalam hal ini, sebuah rekonsiliasi menjadi alternatif penyelesaian yang lebih rasional.

Gelombang Populisme

Kali ini Andre menggeser tema pembicaraan ke isu lain yang cukup hangat terjadi di dunia internasional, yaitu mengenai gelombang populisme. Berdasarkan hasil penelitian yang dibaca, Budiman mengatakan bahwa 40% dari mayoritas masyarakat Indonesia merupakan seorang yang konservatif. Kaum konservatif ini memiliki memiliki ciri-ciri khusus di era digital, yaitu mudah merasa terancam pada sesuatu yang beda atau baru dan cenderung emosional di dalam perilaku publik. Budiman memaparkan empat kuadran tipe-tipe kelompok masyarakat di Indonesia:

Menurut Budiman, kekisruhan politik yang terjadi di Indonesia ialah karena konflik kepentingan antara keempat kuadran tersebut, di mana Transformed Society bergabung bersama Pragmatism-Driven Society melawan Stagnated Society yang bergabung bersama Subordinated Society.

Dalam kaitan dengan isu naiknya gelombang populisme, Tsamara berpendapat bahwa terdapat adu narasi yang terjadi di dunia internasional dan Indonesia, yaitu adu narasi antara narasi yang dibangun berdasarkan data dan fakta melawan narasi yang dibangun berdasarkan imajinasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Ia pun memaparkan sebuah survey yang menyatakan bahwa 23% mahasiswa Indonesia setuju dengan berdirinya Negara Islam Indonesia. Hal ini menunjukkan kebangkitan konservatisme di kalangan muda Indonesia.

Berbicara mengenai HAM dan populisme, tentu sangat berkaitan dengan pembicaraan mengenai kebebasan dan keamanan. Ketika Andre bertanya mengenai pilihan kedua politisi antara kebebasan atau keamanan, mereka sepakat bahwa kebebasan lebih penting untuk mereka. Tsamara berpendapat bahwa atas nama keamanan sebuah kebebasan dapat direnggut sebagaimana yang terjadi di era orde baru, di mana Pancasila hanya dijadikan sebagai monumen, bukan sebuah nilai. Menurut Tsamara masalah yang terjadi di negara demokrasi dapat diselesaikan dengan cara menambah lebih banyak lagi ruang untuk berdemokrasi, bukan justru mempersempitnya melalui berbagai macam regulasi. Bagi Budiman, orang tua tidak perlu khawatir berlebihan akan nilai-nilai apa yang akan diambil oleh anak cucunya selama mereka memahami tentang apa itu kemanusiaan. Kita harus menyadari bahwa nilai kemanusiaan ini tentu akan selalu berubah menyesuaikan zaman.

Pertanyaan Audiens

Sebelum diskusi diakhiri, Andre membuka sesi pertanyaan, di mana audiens dapat secara langsung bertanya kepada kedua narasumber. Cukup banyak audiens yang sebenarnya sangat antusias untuk memberikan pertanyaan, namun sayangnya karena keterbatasan waktu hanya tiga penanya yang mendapat kesempatan bertanya. Pertanyaan-pertanyan yang diajukan ialah seputar keadaan aktual politik di Indonesia.

Budiman mengatakan bahwa seorang politisi harus mampu menggabungkan esensi dan sensasi dalam aktivitas politiknya. Ketika politisi berbicara terlalu saintifik, di mana hanya esensilah yang menjadi fokus, maka politisi itu akan kesulitan memikat hati masyarakat yang tentu memiliki sisi emosional. Di sisi lain, ketika hanya sensasi yang menjadi permainan politik, politisi tersebut dapat kehilangan kepercayaan dari masyarakat seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, keharmonisan antara esensi dan sensasi perlu diperhatikan oleh politisi.

Tsamara menyatakan blusukan adalah salah satu bentuk sensasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebuah narasi pun tidak bisa hanya dilakukan secara defensif, narasi ofensif tetap dibutuhkan oleh seorang politisi. Bagi Tsamara, politisi yang baik ialah politisi yang mampu mengedukasi masyarakat. Dalam politik tak ada teman dan musuh yang abadi, namun kepentinganlah yang abadi. Meskipun begitu, demokrasi dan meritokrasi mampu berjalan bersama.

Diskusi pun diakhiri dengan pertanyaan mengenai buku yang sedang dibaca kedua politisi tersebut. Tsamara menjawab bahwa selain buku-buku Sukarno, ia menyukai buku-buku Yunani klasik karya Homer. Di sisi lain, Budiman menjawab bahwa ia menyukai karya-karya Yuval Noah Harari dan Friedrich Nietzsche, terutama yang berjudul Also Sprach Zarathustra.

Catatan Akhir

Diskusi panjang dan menarik ini akhirnya harus berakhir sebagaimana tulisan ini pun harus diakhiri. Politik sering dipersepsikan kotor dan memang itu benar adanya karena politik merupakan ruang di mana konflik kepentingan dan pertarungan perebutan kekuasaan terjadi. Namun, sebagai generasi muda yang diberkahi dengan semangat optimisme dan sikap keterbukaan yang tinggi, tentu kita harus menyadari bahwa politik pun merupakan ruang di mana ide-ide kita dapat disebarluaskan demi kepentingan orang banyak. Oleh karena itu, sebagai pelajar Indonesia di Jerman kita harus tetap berjuang aktif secara realistis, tidak hanya untuk Indonesia atau untuk manusia semata, namun juga untuk keseluruhan alam semesta.

Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan refleksi untuk kita semua dalam mengambil sikap yang tepat di hadapan segala kerumitan permasalahan yang ada. Salam Perhimpunan!

Oleh: Arnold Budhi Prasetyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *